HMI Badko Jabodetabeka-Banten Minta Evaluasi Izin Tambang di Tanah Raja Ampat

JAKARTA – Pengurus Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Jabodetabeka-Banten secara tegas menuntut evaluasi pertambangan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Mereka menilai aktivitas tambang, khususnya nikel, mengancam ekosistem terumbu karang terbaik dunia dan sumber daya alam yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat lokal.

Raja Ampat yang menyandang status UNESCO Global Geopark, dikenal sebagai “The Last Paradise on Earth” berkat pesona alamnya yang memukau. Gugusan pulau seperti Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool menawarkan perairan jernih kaya biota, karst megah, dan hutan alami. Namun, surga biodiversitas ini kini terancam oleh ekspansi tambang nikel. “Pemerintah harus melakukan intervensi tegas. Tambang-tambang ini secara nyata mengancam sumber daya alam yang tak ternilai dan menghancurkan penghidupan masyarakat adat yang bergantung pada laut dan hutan,” tegas Arisman, Bendahara Umum Badko HMI Jabodetabeka-Banten, rabu (04/06/2025).

Ancaman kerusakan sangat konkret. Greenpeace melaporkan lebih dari 8.775 hektare hutan terancam dibabat. Lebih memprihatinkan tiga dari empat IUP yang dikeluarkan di wilayah Papua berada di pulau-pulau kecil Raja Ampat (Pulau Gag, Kawe, Manuran), yang secara tegas dilarang oleh Pasal 35 huruf K UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aktivitas di pulau kecil ini dinilai pasti menimbulkan kerusakan dan pencemaran.

Raja Ampat adalah jantung Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) rumah bagi 75% spesies karang dunia (537 jenis), 2.500 spesies ikan, dan ribuan spesies lainnya. Kawasan ini juga menjadi laboratorium alam vital untuk riset dan konservasi laut global. Aktivitas penambangan, seperti yang dilakukan PT Kawei Sejahtera Mining (5.922 ha di Pulau Kawei) dan PT Gag Nikel (13.136 ha di Pulau Gag), menyebabkan sedimentasi masif. “Sedimen ini membunuh terumbu karang, menutupi cahaya matahari yang dibutuhkan untuk kehidupan di bawah laut. Dampaknya sudah terlihat dengan penurunan populasi ikan karang hingga 60% di sekitar lokasi tambang,” papar Arisman, merujuk data ilmiah terkini.

Degradasi lingkungan ini tidak hanya merusak keanekaragaman hayati, tetapi juga menghancurkan ekonomi lokal yang berbasis perikanan tangkap dan ekowisata. Masyarakat adat yang selama berabad-abad menjaga kelestarian melalui kearifan lokal seperti sistem sasi (larangan sementara pengambilan sumber daya) kini dimarginalkan dan kehilangan ruang hidup. “Ini jelas pelanggaran hukum dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Izin tambang di pulau kecil seperti ini harus dievaluasi karena melanggar UU dan mengorbankan rakyat serta lingkungan,” tegas Arisman.

Paradoks pun terjadi. Permintaan global nikel untuk baterai kendaraan listrik—bagian dari transisi energi hijau—justru mengorbankan “surga hijau-biru” yang merupakan penyerap karbon biru penting. Kerusakan di Raja Ampat berpotensi mengurangi kapasitas serapan karbon hingga 25 juta ton CO₂ ekuivalen per tahun. Di sisi lain, pemerintah daerah melihat tambang sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan, mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.

Merespon tekanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan pemerintah akan mengevaluasi kembali aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, termasuk memanggil pemegang IUP. Langkah ini dinanti sebagai tindak lanjut konkret.

Untuk menyelamatkan Raja Ampat diperlukan langkah strategis segera seperti moratorium izin tambang baru dan peninjauan ulang izin yang ada dengan kajian Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang benar-benar independen dan komprehensif, memperhitungkan dampak kumulatif. Pengembangan alternatif ekonomi biru berbasis masyarakat seperti ekowisata partisipatif (yang terbukti meningkatkan pendapatan hingga 300%) dan kredit karbon biru harus diprioritaskan.

Raja Ampat adalah warisan alam dunia yang tak tergantikan. Keputusan untuk menghentikan laju kerusakan akibat tambang bukan hanya tentang menyelamatkan Papua Barat, tetapi tentang menjaga salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di Nusantara ini untuk generasi mendatang. Tuntutan Badko HMI Jabodetabeka-Banten mencerminkan keresahan dan harapan besar akan langkah penyelamatan segera.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *